Spiritual tergantung dari hubungan pribadi kita kepada Yang Maha Kuasa, sedangkan budaya terkait dengan akar yang dalam dari segala tindakan kita dalam kehidupan yang sesuai dengan jati diri kita.
Ada contoh dari Acara Ritual di Keraton Surakarta untuk menanak nasi yang diperuntukkan ”Jumenengan”, acara besar di Keraton. Nasi dimasak menggunakan ”Dandang” (alat memasak nasi) Kyai Sedudho. Segala macam beras dimasak, berasnya harus diperoleh dengan cara ditumbuk dengan ”lesung” (alat tumbuk padi tradisional). Yang menyalakan api ”Sinuwun” (Raja), dengan menggunakan”merang” (jerami). Selama menanak nasi, Dzikir ”La illa ha Illalah” berkumandang terus menerus tidak boleh berhenti. Ini adalah penerapan budaya sekaligus agama. Vibrasi dzikir, mantra yang ditujukan kepada nasi mempunyai pengaruh yang luar biasa. Menumbuk padi memakai lesung menimbulkan irama yang akan mempengaruhi beras. ”Lesung” dan ”alu”(alat penumbuk padi) adalah simbol yoni dan lingga. Semuanya kembali kepada alam. Segala hal ritual mempunyai benang merah dengan faktual.
Anggapan bahwa peninggalan nenek moyang yang kebetulan beragama lain dengan agama yang dianut mayoritas pada saat ini sehingga memandangnya hanya sebagai komoditi pariwisata adalah kurang bijaksana. Masih banyak pengetahuan yang dapat kita gali, bukan tentang agamanya tetapi ilmu pengetahuan yang mendasarinya. Kita lupa bagian-bagian dari candi masing-masing mempunyai makna. Kita lupa para Visvakarma leluhur kita yang menetapkan sebuah bangunan bukan sekedar bangunan, tetapi mempunyai makna yang dalam. Bagi yang mempelajari ”feng shui” bagaimana meletakkan bangunan di pusat-pusat energi yang akan mempunyai pengaruh yang luar biasa. Candi bukan sekedar tempat pemujaaan, tetapi merupakan sebuah Mandala.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar