Pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan
Pendidikan di Indonesia pada zaman
sebelum kemerdekaan dapat digolongkan ke dalam tiga periode, yaitu : Pendidikan yang
berlandaskan ajaran keagamaan, Pendidikan yang berlandaskan kepentingan
penjajahan, dan Pendidikan dalam rangka perjuangan kemerdekaan
Pendidikan yang
berlandaskan ajaran keagamaan meliputi:
I.
Pendidikan
Hindu-Budha.
Pendidikan
pada zaman keemasan Hindu-Budha yang berlangsung antara abad ke-14 hingga abad
ke-16 masehi. Pada periode awal berkembangnya agama Hindu-Budha di nusantara,
sistem pendidikan sepenuhnya bermuatan keagamaan yang dilaksanakan di
biara-biara atau pedepokan. Pada perkembangan selanjutnya, muatan pendidikan
bukan hanya berupa ajaran keagamaan, melainkan ilmu pengetahuan yang meliputi
sastra, bahasa, filsafat, ilmu pengetahuan, tata negara, dan hukum.
Kerajaan-kerajaan hindu di tanah jawa banyak melahirkan empu dan pujangga besar
yang melahirkan karya-karya seni yang bermutu tinggi. Pada masa, itu pendidikan
mulai tingkat dasar hingga tingkat tinggi dikendalikan oleh para pemuka agama.
Pendidikan bercorak Hindu-Budha semakin pudar dengan jatuhnya kerajaan
Majapahit pada awal abad ke 16, dan pendidikan dengan corak Islam dalam
kerajaan-kerajaan Islam datang menggantikannya.
II. Pendidikan
Islam
Pendidikan
berlandaskan ajarna Islam dimulai sejak datangnya para saudagar asal Gujarat
India ke Nusantara pada abad ke-13. Kehadiran mereka mula-mula terjalin melalui
kontak teratur dengan para pedagang asal
Sumatra dan Jawa. Ajaran islam mula-mula berkembang di kawasan pesisir,
sementara di pedalaman agama Hindu masih kuat. Didapati pendidikan agama Islam
di masa prakolonial dalam bentuk pendidikan di surau atau langgar, pendidikan
di pesantren, dan pendidikan di madrasah.
III. Pendidikan
Katolik dan Kristen-Protestan
Pendidikan
Katolik berkembang mulai abad ke-16 melalui orang-orang Portugis yang menguasai
malaka. Dalam usahanya mencari rempah-rempah untuk dijual di Eropa, mereka
menyusuri pulau-pulau Ternate, Tidore, Ambon, dan Bacan. Dalam pelayarannya
itu, mereka selau disertai misionaris Katolik-Roma yang berperan ganda sebagai
penasihat spiritual dalam perjalanan yang jauh dan penyebar agama di tanah yang
didatanginya. Kemudian Belanda menyebarkan agama Kristen-Protestan dan
mengembangkan sistem pendidikannya sendiri yang bercorak Kristen-Protestan.
IV. Pendidikan
pada zaman VOC
Sebagaimana
bangsa Portugis sebelumnya, kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia pada abad ke
-16 mula-mula untuk tujuan dagang dengan mencari rempah-rempah dengan
mendirikan VOC. Misi dagang tersebut kemusian diikkuti oleh misi penyebaran
agama terutama dilakukan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang dilengkapi
asrama untuk para siswa. Di sana diajarkan agama Kristen-Protestan dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda, dan sebagian menggunakan bahasa Melayu. Pada
awal abad ke-16, VOC mendirikan sekolah di pulau-pulau Ambon, Banda, Lontar,
dan Sangihe-Talaud. Pada periode berikutnya, didirikan pula sekolah-sekolah
dengan jenis dan tujuan yang lebih beragam. Pendirian sekolah-sekolah tersebut
terutama diarahkan untuk kepentingan mendukung misi VOC di Nusantara.
V.
Pendidikan
pada zaman kolonila Belanda
Pudarnya
VOC pada akhir abad ke-18 menandai masa datangnya zaman kolonial Belanda.
Sistem pendidikan diubah dengan menarik garis pemisah antara sekolah Eropa dan
sekolah Bumiputera. Sekolah Eropa diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan
anak-anak orang Eropa di Indonesia, sedangkan sekolah-sekolah bumiputera
tingkatan dan prestisenya lebih rendah diperuntukkan bagi anak-anak bumiputra
yang terpilih. Mulai akhir abad ke-19 dan hingga dasawarsa awal abad ke-20,
lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sangat beragam, meliputi sekolah dasar,
sekolah menengah, sekolah raja, sekolah petukangan, sekolah kejuruan, sekolah-sekolah
khusus untuk perempuan Eropa dan pribumi, sekolah dokter, perguruan tinggi
hukum, dan perguruan tinggi teknik. Untuk mengimbangi pendidikan Belanda, pada
periode ini berdiri pula lembaga-lembaga pendidikan bercorak keagamaan dan
kebangsaan oleh Muhamadiyah, taman siswa, INS kayutaman, Ma’arif dan perguruan
Islam lainnya.
VI. Pendidikan
pada masa pendudukan Jepang
Meskipun
singkat, berlangsung pada tahun 1942-1945, masa pendudukan Jepang memberikan
corak yang berarti pada pendidikan di Indonesia. Tidak lama setelah berkuasa,
Jepang segera menghapus sistem pendidikan warisan Belanda yang didasarkan atas
penggolongan menurut bangsa dan status sosialnya. Tingkat sekolah terendah
adalah Sekolah Rakyat(SR) , yang terbuka untuk semua golongnan masyarakat tanpa
membedakan status sosial dan asal-usulnya. Kelanjutannya adalah Sekolah
Menengah Pertama(SMP) selama tiga tahun, kemudian Sekolah Menengah Tinggi(SMT)
selama tiga tahun. Sekolah kejuruan juga dikembangkan, yaitu Sekolah
Pertukangan, Sekolah Menengah Teknik Menengah, Sekolah Pelayaran, dan Sekolah
Pelayaran Tinggi. Sekolah Hukum dan MOSVIA yang didirikan oleh Belanda
dihapuskan. Di tingkat pendidikan tinggi, pemerintah pendudukan Jepang
didirikan Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika
Dai Gakko)di Jakarta dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung.
Perubahan
lain yang sangat berarti bagi
Indonesia di kemudian hari ialah bahasa
Indonesia menjadi bahasa pengantar pertama di sekolah-sekolah dan kantor-kantor
pemerintahan, dan bahasa pengantar kedua adalah bahasa Jepang. Sejak saat itu,
bahasa Indonesia berkembang pesat sebagai bahasa pengantar dan bahasa
komunikasi ilmiah. Tujuan pendidikan pada zaman Jepang diarahkan untuk
mendukung pendudukan Jepang dengan menyediakan tenaga kerja kasar secara
cuma-Cuma yang dikenal dengan romusha.
Pendidikan di Indonesia setelah kemerdekaan
(1945-1969)
Pendidikan
dan pengajaran sampai dengan tahun 1945 diselenggarakan oleh Kantor Pengajaran yang terkenal dengan nama Jepang Bunkyo Kyoku dan merupakan bagian dari
kantor yang menyelenggarakan urusan pamong praja yang disebut dengan Naimubu. Segere setelah
diproklamasikannya kemerdekaan, Pemerintah Indonesia yang baru dibentuk
menunjuk Ki Hajar Dewantara, sebagai
Menteri Pendidikan dan Pengajaran mulai 19 Agustus sampai dengan 14 November
1945, kemudian digantikan oleh Mr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November 1945
sampai dengan 12 Maret 1946. Tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia
digantikan oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober 1946.
Karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak banyak yang
dapat diperbuat oleh para menteri
tersebut, apalagi Indonesia masih disibukkan dengan berbagai persoalan bangsa
setelah diproklamasikannya kemerdekaan.
I.
Tujuan
dan Kurikulum Pendidikan
Dalam
kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami lima kali
perubahan, mengikuti perubahan dalam suasana kehidupan kebangsaan kita.
Sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan (PP&TK), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret 1046, tujuan pendidikan
nasional pada masa awal kemerdekaan amat menanamkan penananman jiwa patriotisme. Hal ini dapat dipahami, karena pada
saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajahan yang berlangsung
ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah
Indonesia. Oleh karena itu, penanaman jiwa patriotisme melalui pendidikan
dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru diproklamasikan.
Sejalan
dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan nasional
Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata-mata menekankan jiwa
patriotisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan
Pengajaran di Sekolah, Bab II pasal 3 dinyatakan, ”Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk manusia susila yang
cakup dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab tentang
kesejahteraan masyarakat dan tanah air”.
II.
Sistem
Persekolahan
Sistem
persekolahan yang berlaku di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya
melanjutkan apa yang telah dikembangkan pada zaman pendudukan Jepang. Sistem
dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi.
Sistem
persekolahan tersebut terus dipertahankan dan merupakan sistem oersekolahan
yang berlaku pada zaman kemerdekaan, bahkan hingga tahun 1980-an. Hingga akhir
tahun 1960-an, kalaupun terjadi perubahan, hal ini lebih pada bentuk
kelembagaannya. Perkembangan lain yang terpenting dicatat pada era 1945-1969
ialah berrdirinya 42 Perguruan Tinggi Negeri berupa universitas, institut dan
sekolah tinggi yang umumnya terletak di ibukota propinsi, sehingga kurun waktu
tersebut dapat dikatakan sebagai “era pertumbuhan PTN”.
Pendidikan di Indonesia Dewasa Ini
Pendidikan
mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah
pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Perkembangan zaman
selalu memunculkan tantangan-tantangan baru, yang sebagiannya sering tidak
dapat diramalkan sebelumnya. Dalam rangka menciptakan sistem pendidikan
nasional yang mantap berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan nasional,
serta mmapu menjawab tantangan masa kini dan masa depan, pendidikan nasional
dewasa ini terus ditata dan dikembangkan dengan memberikan prioritas pada
aspek-aspek yang dipandang stategis bagi bangsa. Prioritas tersebut adalah
pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Pada
tanggal 2 Mei 1994 waib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat SLTP
dicanangkan. Sepuluh tahun sebelumnya, tepatnya pada tanggal 2 Mei 1984,
Indonesia juga memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD. Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 1989 Pasal 6 menyatakan tentang hak warga negara untuk mengikuti
pendidikan sekurang-kurangnya tamat pendidikan dasar. Kemudin PP Nomor 28 Tahun
1990 tentang Pendidikan Dasar, Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar
merupakan pendidikan 9 tahun, terdiri
atas program pendidikan 6 tahun di SD dan program pendidikan 3 tahun di SLTP.
Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun mempunyai dua tujuan utama yang
berkaitan satu sama lain yaitu: meningkatkan pemerataan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan bagi semua kelompok umur 7-15 tahun dan untuk
meningkatkan mutu sumber daya Indonesia hingga mencapai SLTP.
Dengan
wajib belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia yang semula 6 tahun
ditingkatkan menjadi 9 tahun. Peningkatan lamanya wajib belajar dari 6 tahun
menjadi 9 tahun memungkinkan peserta didik untuk lebih lama belajar di sekolah.
Hal ini memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta didik untuk
mendapatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menempuh studi lanjutan dan hidup di masyarakat.
Sejak
dimulai pada tahun 1994, program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
mencapai banyak kemajuan. Indikator-indikator kuantitatif yang dicatat
menunjukkan bahwa angka partisipasi meningkat sejalan dengan semakin
bertambahnya ruang belajar, jumlah guru, dan fasilitas belajar lainnya.
Permasalahan Pendidikan
Sistem
pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan
masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sisitem pendidikan tidak mempunyai
arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat
antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sosial budaya sebagai
suprasistem tersebut di mana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan
kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu
menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu
permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan
masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu
hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat
di sekitarnya, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar sistem
persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut. Berdasarkan
kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks,
menyangkut banyak komponen, dan melibatkan banyak pihak.
Pada
dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air
kita dewasa ini, yaitu: bagaimana semua warga negara dapat menikmati kesempatan
pendidikan dan bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan
keterampilan untuk terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
I.
Masalah
Pemerataan Pendidikan
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai
wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional
diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga
negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan
adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan,
sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia
untuk menunjang pembangunan.
Masalah pemerataan memperoleh pendidikan
dipandang penting sebab jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan
belajar pada SD, maka mereka memiliki bekal dasar berupa berhitung, membaca,
dan menulis sehingga mereka dapat mengikuti perkembangan kemajuan melalui
berbagai media massa dan sumber belajar yang tersedia. Dengan demikian mereka
tidak terbelakang dan menjadi penghambat derap pembangunan.
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan
yang terkandung di dalam upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan.
Pemecahan
Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak pemecahan masalah yang telah dan
sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkah ditempuh melalui cara
konvensional dan cara inovatif. Cara konvensional antara lain: membangun gedung
sekolah seperti SD Inpres dan atau ruangan belajar dan menggunakan gedung
sekolah untuk double shift (sistem
bergantian pagi dan sore) sehubungan dengan itu yang perlu digalakkan, utamanya
untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi
masyarakat/keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
Cara inovatif antara lain:
a. sistem
Pamong(pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau Inpacts System(Instructional Management by
Parent, Community and, Teacher). Sistem tersebut dirintis di Solo dan
didiseminasikan ke beberapa propinsi
b. SD
kecil pada daerah terpencil
c. Sistem
Guru Kunjung
d. SMP
Terbuka (ISOSA- In School Out off School
Approach)
e. Kejar
Paket A dan B
f. Belajar
Jarak Jauh
II.
Masalah
Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil
pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil
pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga
terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran
tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai
sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test). Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada
kualitas keluarannya. Dengan kata lain apakah keluaran itu mewujudkan diri
sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun
lingkungannya. Meskipun disadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri
seperti itu tidak semata-mata hasil dari sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika
terhadap produk seperti itu sistem pendidika dianggap mempunyai andil yang
cukup, yang tetap menjadi persoalan ialah bahwa pengukuran mutu produk tersebut
tidak mudah. Berhubung dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka
jika seorang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mengasosiasikan
dengan hasil belajar yang dikenal sebagai hasil EBTA, Ebtanas, atau hasil
Sipenmaru, UMPTN, karena ini mudah diukur. Hasil EBTA dan lain-lain tersebut
itu dipandang sebagai gambaran tentang hasil pendidikan.
Padahal hasil belajar yang bermutu hanya
mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika proses belajar tidak
optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil yang bermutu. Jika terjadi
belajar yang tidak optimal menghasilkan skor hasil ujian yang baik maka hampir
dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut adalah semu. Umumnya kondisi mutu
pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya
di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan. Acuan usaha
pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem
persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya di seluruh pelosok tanah air
(kota dan desa) mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan
kondisinya masing-masing.
Pemecahan
Masalah Mutu Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang
pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan
masalah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas komponen pendidikan
serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada gilirannya
diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar
peserta didik, yang akhirnya dapat meningkatkan hasil pendidikan. Upaya
pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang
bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia, dan manajemen.
III. Masalah
Efisiensi Pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan
bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk
mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaanya hemat dan tepat sasaran dikatakan
efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya berarti rendah.
Masalah ini meliputi pengangkatan, penempatan, dan pengembangan tenaga.
Masalah pengangkatan terletak pada
kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang
sangat terbatas. Masalah penempatan guru, khsusnya guru bidang studi, sering
mengalami kepincangan, tidak disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Gejala
tersebut membawa ketidakefisienan dalam memfungsikan tenaga guru, meskipun
persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah mencukupi kebutuhan,
namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya jumlah yang dapat
diangkat dan sulitnya menjaring tenaga yang bersedia ditempatkan di daerah
terpencil, karena tidak ada insentif yang menarik. Masalah pengembangan tenaga
kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong
hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian
dari para pelaksana di lapangan.
IV. Masalah
Relevasi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup
sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti digambarkan dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional. Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua
sektor pembangunan yang beraneka ragam. Baik dari segi jumlah maupun dari segi
kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua
sektor pembangunan baik yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi
kriteria yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan
dianggap tinggi. Umumnya luaran yang diproduksi oleh sistem pendidikan
jumlahnya secara kumulatif lebih besar daripada yang dibutuhkan di lapangan.
Permasalahan Aktual
Pendidikan di Indonesia
Masalah aktual ada yang mengenai konsep
dan ada yang mengenai pelaksanaannya. Perlu dipahami bahwa tidak semua masalah
aktual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan ada yang sudah lama. Sudah sejak
lama masalah aktual itu kita sepakati untuk mengatasinya, tetapi dari tahun ke
tahun hasilnya tetap sama.
I.
Masalah
Keutuhan Pencapaian sasaran
Dalam pelaksanaannya pendidikan afektif
belum ditangani semestinya. Kecenderungan mengarah kepada pengutamaan
pengembangan aspek kognitif.
II.
Masalah
Kurikulum
Masalah kurikulum meliputi masalah konsep
dan masalah pelaksanaannya. Apalagi kalau kita lihat di lapangan terdapat
masalah pengembangan tenaga kependidikan yang biasanya terlambat, khususnya
pada saat menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum
menuntut adanya penyesuaian diri para pelaksana di lapangan. Padahal proses
pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu.
Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat dicanangkan berlakunya kurikulum
dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini
proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.
III. Masalah
Peranan Guru
Konsep-konsep baru lahir sebagai cerminan
humanisme yang memberikan arah baru pada pendidikan. Sejalan dengan itu perkembangan
iptek yang pesat menyumbangkan cara-cara baru yang lebih mantap terhadap
pemecahan masalah pendidikan. Dalam realisasinya dipandu oleh kurikulum yang
selalu disempurnakan. Sejalan dengan itu maka guru sebagai suatu komponen
sistem pendidikan juga harus berubah.
Dahulu guru merupakan satu-satunya sumber
belajar, ia menjadi pusat bertanya.
Tugas guru memberikan ilmu pengetahuan kepada murid. Cara demikian dipandang
sudah memadai karena ilmu pengetahuan guru belum berkembang, cakupannya masih
terbatas. Dewasa ini berkat perkembangan iptek yang demikian pesat bahkan
merevolusi, bagi seorang guru tidak mungkin lagi menjadikan dirinya gudang ilmu
dan oleh karena itu juga tidak satu-satunya sumber belajar bagi muridnya.
Tugasnya bukan memberikan ilmu pengetahuan melainkan terutama menunjukkan jalan
bagaimana cara memperoleh olmu pengetahuan, dan mengembangkan dorongan untuk
berilmu. Dengan singkat dikatakan bahwa tugas guru adalah “membelajarkan
pelajar”.
IV. Masalah
Pendidikan Dasar 9 Tahun
Dalam pelaksanaan pendidikan dasar 9
tahun, lebih-lebih pada tahap awal sudah pasti banyak hambatanya. Hambatan lain
berasal dari sambutan masyarakat, utamanya dari orang tua/ kalangan yang kurang
mampu. Mereka mungkin cenderung untuk tidak menyekolahkan anaknya karena harus
membiayai anaknya lebih lama. Padahal dapat berharap banyak dari anaknya untuk
segera memperoleh pekerjaan setelah tamat dari sekolah.
TOKOH-TOKOH PENDIDIKAN
I. Ki Hadjar Dewantara
Ki
Hadjar Dewantara pulang ke Tanah Air pada tahun 1918 setelah menempuh studinya
di Belanda. Empat tahun kemudian, tokoh yang tak bisa menyelesaikan pendidikan
kedokteran di STOVIA karena sakit ini baru bisa mewujudkan semua gagasannya
tentang dunia pendidikan dengan mendirikan National Onderwijs
Instituut Taman Siswa pada 3 Juli 1932 di Yogyakarta.
Perguruan
bercorak nasional ini sangat menekankan rasa kebangsaan agar siswa mencintai
bangsa dan tanah air, sehingga tergerak untuk berjuang meraih kemerdekaan. Dari
tahun ke tahun, Taman Siswa terus menggeliat. Jumlah muridnya terus bertambah.
Artinya, semakin banyak pula rakyat Indonesia yang pikirannya terbuka. Melihat
kiprah Ki Hadjar Dewantara yang terus berkembang, pemerintah kolonial Belanda
kembali resah. Jalan pintas diambil: Taman Siswa mesti diberangus. Caranya,
dengan menerbitkan ordonansi sekolah liar pada 1 Oktober 1932. Namun, berkat
kegigihan Ki Hadjar Dewantara, bukannya Taman Siswa yang bubar, melainkan
justru ordonansi itulah yang akhirnya dicabut.
Ketika
Jepang masuk menggantikan pemerintahan Hindia Belanda 1942, Ki Hadjar Dewantara
tak henti berjuang lewat politik dan pendidikan. Bersama beberapa tokoh
nasional pada saat itu, Ki Hadjar duduk sebagai salah seorang pimpinan Putera.
Dedikasi panjangnya terhadap dunia pendidikan mengantarkan Ki Hadjar menjadi
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan pertama setelah Indonesia merdeka.
Penyandang
gelar doctor honoriscausa dari Universitas Gadjah Mada pada
1957 ini mengenalkan konsep orde en vreden (tertib
dan damai), dengan bertumpu pada prinsip pertumbuhan menurut kodrat. Konsep
inilah yang kemudian terkenal dengan metode Among, dengan
trilogi peran kepemimpinan pendidik, yaitu tut wuri handayani (guru
hanya membimbing dari belakang dan mengingatkan jika tindakan siswa
membahayakan), ing madya mangun karsa (membangkitkan semangat
dan memberikan motivasi), dan ing ngarsa sung tulada (selalu
menjadi contoh dalam perilaku dan ucapan).
II. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir berpandangan bahwa
kemunduran dan kemajuan sangattergantung pada ada atau tidaknya sifat-sifat dan
bibit-bibit kesanggupan suatu umat untuk menjadikan mereka layak atau tidak
menduduki tempat yang mulia didunia ini yang bergantung kepada pendidikan yang
diterima oleh seseorang. Beliau berpandangan bahwa untuk mewujudkan sifat-sifat
kemampuan itu sertadalam rangka meningkatkan sumber daya manusia umat Islam,
harus melalui jalur pendidikan.
Di sinilah muncul keinginan beliau untuk
mendirikan sebuah institusi pendidikan Islam, yang lebih dikenal dengan Pendis.
Mohammad Natsir menyadari bahwa untuk mengubah pemikiran pelajar-pelajar Islam
tidak hanyacukup dengan mengemukakan pemikiran melalui penulisan saja, tetapi
harus berperan lebih dari itu. Beliau melangkah dengan mendirikan sebuah sistem
pendidikan yang terpadu, yang menyatukan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
umum.
Dia berpandangan bahwa melalui pendidikan
yang terpadu itu akanmenjadikan anak didiknya sebagai intelek yang ulama dan
ulama yang intelek.Menurut K.H Rusyad Nurdin, salah seorang murid Pendis
angkatan pertama,tujuan pendidikan Pendis ialah “mencari alternatif dari sistem
pendidikankolonial yaitu sistem pendidikan yang menitikberatkan kepada
pembentukan pribadi yang berdaya fikir berkesinambungan dengan hati nuraninya,
seimbang daya cipta dan taat tawakalnya kepada Allah SWT ” (Mohammad Noer,
2007).
Setelah beberapa tahun mengendalikan Pendis,
Mohammad Natsir kianmengenal bidang pendidikan. Pada tahun 1934 dan tahun-tahun
berikutnya beliaumulai mengemukakan gagasannya melalui beberapa tulisan dan
ceramah. Hal ini bisa kita baca dalam bukunya Capita Selekta.
III. Muhammad
Syafei
Muhammad
Syafei mendasarkan konsep pendidikannya pada nasionalis medalam arti konsep dan
praktek penyelenggaraan pendidikan didasarkan pada cita-cita menghidupkan jiwa
bangsa Indonesia dengan cara mempersenjatai dirinya dengan alat daya upaya
kreatif untuk menguasai alam. Semangat nasionalis menyayang sedang tumbuh
menimbulkan pertanyaan, mengapa bangsa Belanda yang jumlahnya sedikit dapat
menguasai bangsa Indonesia yang jumlahnya sangat besar. Pertanyaan ini dapat
dipecahkan setelah berada di tengah-tengah masyarakat Belanda. Ternyata bahwa
faktor alam dan lingkungan masyarakat mempengaruhi jiwa manusia.
Jelas
kiranya bahwa nasionalisme Muhammad Syafei adalah nasionalisme pragmatis
berdasarkan agama, yaitu nasionalisme yang tertuju membangun bangsa melalui
pendidikan agar menjadi bangsa yang pandai berbuat untuk kehidupan manusia atas
segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan. Muhammad Syafei menyatakan bahwa
Tuhan tidak sia-sia menciptakan manusia dan alam lainnya. Tiap-tiapnya mesti
berguna, kalau tidak berguna hal itu disebabkan karena kita tidak pandai
menggunakannya.
Selain
itu, pandangan pendidikan Muhammad Syafei menyarankan kesempurnaan hidup lahir
dan batin harus selalu diperbaharui. Hal ini terungkap dalam pemikiran G.
Revesz seperti yang dikutip oleh Syafei: “ bahwa lapangan pendidikan mesti
berubah menurut zamannya, seandainya orang masih beranggapan, bahwa susunan
pendidikan dan pengajaran yang berlaku sekarang adalah sebaik-baiknya dan tidak
akan diubah lagi, maka orang atau lembaga yang berpendirian dan berpikir
demikian telah jauh menyimpang dari kebenaran.”
Berdasarkan
hal tersebut, Syafei menyimpulkan bahwa kesempurnaan lahir dan batin berbentuk
manusia yang aktif kreatif. Dengan kata lain, manusia yang sempurna lahir dan
batin ialah manusia yang memenuhi aspek-aspek jiwa dan hati yang terlatih serta
otak yang berisi pengetahuan sehingga menjadi manusia yangaktif kreatif dalam
menghadapi lingkungan dan perubahan masyarakat.
Berdasarkan
hal tersebut, Syafei menyimpulkan bahwa kesempurnaan lahir dan batin berbentuk
manusia yang aktif kreatif. Dengan kata lain, manusia yang sempurna lahir dan
batin ialah manusia yang memenuhi aspek-aspek jiwa dan hati yang terlatih serta
otak yang berisi pengetahuan sehingga menjadi manusia yangaktif kreatif dalam
menghadapi lingkungan dan perubahan masyarakat.
Sumber
Bacaan:
Abdulhak,
Ishak., Supriadi, D., Wahyudin, Dinn. 2006. Pengantar Pendidikan. Universitas
Terbuka, Jakarta.
Prof.
Dr. Umar Tirtarahardja dan Drs. S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. PT
Rineka Cipta, Jakarta.
http://www.academia.edu/3742223/Sejarah_Pendidikan_Indonesia
novihartini.wordpress.com/.../sejarah-pendidikan-di-indonesia